Rencana Rahasia Ken

Rencana Ken

Di beranda rumah yang tampak kecil itu, -- tidak terlalu kecil -- Ken duduk santai di kursi malas berwarna coklat. Matanya memandangi anak-anak kecil berseragam sekolah yang melintas di depannya, menggunakan sepeda yang jerujinya diberi botol air mineral. Sepeda-sepeda yang berbunyi ebrek-ebrek itu melintas dengan kecepatan penuh, lantaran kejauhan di belakang anak-anak kecil itu, -- sekitar sepuluh meter -- ada seorang perempuan tua berusia kepala enam, yang keluar dari rumahnya dan tampak memaki-maki jengkel dengan ulah anak-anak kecil yang mengganggu ketenangannya.

Ken tersenyum tergelitik dengan ulah anak-anak itu. Ia teringat masa lalu yang juga pernah melakukan tindakan konyol seperti anak-anak kecil yang melintas di depannya. Raut muka Ken mendadak mengkerut. Ia teringat pada seorang kakek yang pernah ia usili, tetapi kaķek itu meninggal sebelum ia sempat meminta maaf. Hal ini membuat Ken terus dihantui rasa berdosa ketika ia teringat kejadian itu.

Bersama lenyapnya anak-anak kecil, seorang penjual susu sapi murni menggunakan sepeda ontel yang tak lain adalah Bang Oji, melintas di depan rumah Ken. Ken langsung memanggilnya, berniat untuk membeli susu sapi murni.

"Bang. Beli, Bang!" Panggil ken sambil bangun dari kursi malasnya dengan suara yang mengagetkan Bang Oji.

"Oh Iya, Ken." Bang Oji segera mengerem dan membelokkan sepedanya ke arah Ken, berhenti tepat di depan Ken yang sudah beranjak mendekatinya sambil tersenyum.

Pakaian Bang Oji agak kluwus. Baju kemeja putih yang ia gunakan tampak sudah mulai kusam. Celana yang mirip karung ghoni itu juga terlihat rapuh. Topi koboinya terlihat berdebu. Tapi antiknya, tubuhnya terlihat bersih walaupun berkeringat.

"Mau beli susu berapa, Ken?" Tanya Bang Oji dengan terengah-engah sambil membuka tremos yang masih mengepulkan asap itu.

"Em...," Ken berpikir, "Dua aja deh, Bang. Gak usah banyak-banyak." Jawab Ken sambil merogoh saku celananya.

"Oke, siap Pak Bos." Dengan hormat layaknya hormat pada bendera, Bang Oji langsung cekatan mengambilkan dua bungkus susu sapi murni yang dibungkus menggunakan plastik hitam. Ken terkekeh melihat tingkah laku Bang Oji.

"Ini, Bos. Susunya masih anget, nih. Diminum langsung lebih seger." Bang Oji menyodorkan plastik hitam yang berisi dua bungkus susu sapi murni, lalu menutup tremos.

"Wah... mantap, Bang. Ini uangnya." Ken menyodorkan uang enam ribu sambil menerima susu sapi murni yang sudah dibungkus itu.

Sedangkan Bang Oji menerima uang dari Ken, menghitung sebentar, lalu Langsung berlarian, membelokkan sepeda, lalu menungganginya.

"Kok buru-buru, Bang?"

"Iya, Bos. Lagi diburu-buru sama pelanggan ini soalnya."

"Oooh...," Mulut Ken memoncong ke depan, "pantesan."

"Iya, Bos. Jalan dulu ya?" Bang Oji tersenyum sambil berlalu.

"Semangat Bang. Itu uangnya pas ya, Bang?" Ken memastikan.

"Pas mantap, Bos." Bang Oji sudah lenyap dari pandangan Ken.

Ken terkekeh, dan ia kembali duduk di kursi malasnya. Susu sapi murni itu diletakkan di meja sebelah tempat duduknya. Pikirannya melayang teringat masa lalunya, tepatnya masa lalu Bang Oji.

Bang Oji adalah salah satu pemuda yang cerdas, menurut Ken. Karena di sekolah -- hampir setiap semester -- Bang Oji seringkali mendapatkan 10 besar di kelasnya. Semua pelajaran nilainya di atas rata-rata teman-temannya.

Tapi sayangnya Bang Oji cuma pintar teorinya saja, sedangkan prakteknya, ia tidak bisa. Sekarang ia kesusahan dalam memenuhi administrasi sekolahnya, dan akhirnya ia harus berhenti sekolah karena masalah dana.

Tapi untungnya Bang Oji bertemu dengan Kholid, -- teman akrab Ken -- anak juragan sapi yang juga sudah menjadi juragan interior rumah itu, walaupun usianya masih 17 tahun. Bang Oji pun kini sudah mulai berbisnis kecil-kecilan berkat ilmu yang diajarkan oleh kholid kepadanya. Sungguh beruntungnya Bang Oji. Mungkin tahun depan ia akan melanjutkan pendidikan formal bangku kuliah, menurut perkiraan Ken.

***

Lamunan Ken buyar begitu saja. Ia teringat pagi itu berencana menemui Kholid untuk menyampaikan info yang dianggapnya penting.

Ken memalingkan wajahnya ke jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 07.10 WIB. Ia segera bangun, mengambil susu murni itu, lalu berjalan menuju ke rumah Kholid yang berjarak 5 menit dari rumah Ken dengan berjalan kaki.

Dengan berjalan santai, Ken menelusuri jalan aspal perkampungan yang mulai ramai lalu lalang orang. Mereka terlihat sibuk beraktivitas. Jalan aspal yang lebarnya dua kali truk itu masih terlihat kuat karena hanya dilalui sepeda motor dan beberapa mobil saja. Di pinggiran jalan terlihat pepohonan hijau di sepanjang jalan. Pohon-pohon itu tertata rapi berjarak 5 meter satu sama lain. Suasananya terkesan asri. Udaranya pun masih segar untuk dirasakan. Suara-suara kicauan burung juga masih terdengar. Sungguh itu sebuah nikmat Tuhan yang tak mungkin didustakan.

***

Ken sudah sampai di depan pintu gerbang rumah mewah yang tak lain adalah rumah Kholid. Pintu gerbang besi berwarna coklat kehitaman itu terlihat gagah, menempel pada tembok tebal dan tinggi yang mengelilingi rumah itu. Dari luar tidak terlihat isi dalam gerbang itu. Di pojok gerbang ada tombol bell yang menempel menjorok ke dalam tembok tebal. Jika hujan turun, airnya tak mengenai tombol bell yang ada di dalamnya.

Ken memencet tombol bell. Beberapa saat kemudian pintu gerbang terbuka satu meter. Wajah yang tidak asing muncul dari dalam sambil tersenyum melihat Ken yang berdiri di depannya. Ia adalah Kang Dikin, Satpam yang masih melestarikan logat Jawa. Orangnya berbadan besar, lebih tepatnya gendut; tapi lugu, dan baik hati. Saking baik hatinya, Kang Dikin sering di usilin temen-temen Kholid termasuk Ken.

"Cari siapa, Nang?"

"Cari oranglah, Kang. Masak cari Kang Dikin."

"Emange aku dudu wong, Nang? Aku kan podo wae..."

"Ban Truk." Pangkas Ken sambil tertawa, lari menuju pintu masuk rumah Kholid yang jaraknya 20 meter dari pintu gerbang itu.

"Oalah, Dasar gemblung," Logat jawanya keluar, "awas kalau ketemu tak jewer lho." Ia kembali ke pos satpam sambil mengelus dada.

Dengan napas terengah-engah, Ken berhenti di depan pintu rumah Kholid penuh dengan kemenangan. Seperti biasanya iya langsung masuk ke dalam sambil memanggil Kholid. Tapi, tak ada tanda-tanda akan munculnya orang yang ia panggil. Ken memutuskan untuk masuk ke kamar Kholid. Baru melangkah ke ruang tengah, ia mendapati Kholid sedang tidur di kursi sofa dengan kepala menghadap ke langit-langit, dan mulut terbuka menganga.

"Hm... pantesan aja gak nyaut," Gumam Ken dengan raut muka penuh dengan rencana jahat, "ternyata molor." Mata ke menyapu pandang ke berbagai arah sambil mencari benda yang ia harapkan.

"Nah... ini nih, kayaknya cocok buat ngerjain si Kholid." Wajahnya terlihat cerah.

Ken mengambil kaca mata warna hitam yang ada di meja ruang tamu. Lalu kembali menuju ke arah Kholid. Dengan penuh kegirangan, kaca mata hitam itu dipakaikan ke Kholid yang sedang tidur.

"Ini nih, model selfi jaman now. wkwk." Ken tertawa penuh kemenangan. Ia merogoh saku celananya, dan mengeluarkan smartphonenya, lalu mengambil beberapa foto dari arah yang berbeda. Ia tertawa kegirangan.

Sudah puas mengambil foto Kholid, Ken menepuk pundak Kholid beberapa kali untuk membangunkannya. Beberapa kali tepukan tidak berhasil membangunkan Kholid, Ken memastikan bahwa Kholid tidak mengerjainya. Ia mendekatkan mukanya, tepat di depan muka Kholid.

"Kayaknya kecapekan dia," Ucapnya Sambil menatap lamat-lamat mata Kholid dari balik kaca mata hitam itu.

Karena tidak berhasil membangunkan Kholid, Ken memutuskan untuk menunggu Kholid di ruang tamu, sambil memperhatikan ruangan itu.

Ruang tamu itu lumayan luas dengan dinding warna putih cerah kekuningan. Dinding itu berhiaskan kain sulam yang dibingkai kaca bertuliskan ayat-ayat Alquran, di tembok sebelah selatan bagian timur. Untuk sebelah selatan bagian timur adalah dua lemari buku berbahan kayu jati, panjang yang menjadi pembatas antara ruang tamu dengan ruang tengah, sisanya untuk jalan penghubungnya. Sedangkan dinding sebelah timur, barat, dan utara adalah jendela kaca yang berbingkai kayu jati kuat, menyisakan bagian untuk pintu masuk yang berada di tengah. Kaca jendela itu dihiasi dengan ukir-ukiran timbul berwarna biru, hijau, dan kuning emas, terlihat sangat mengesankan. Di atasnya adalah fentilasi udara yang menyejukkan.

Langit-langitnya sama seperti ruang tengah, hanya saja berbentuk lebih memanjang. Lantainya menggunakan marmer warna putih mengkilap seperti ruang tengah, ada empat kursi sofa panjang dan dua kursi sofa pendek. Masing-masing ada di sebelah barat dan timur, dengan formasi 2-1 dan 2-1.

Kursi sofa itu sangat empuk dan nyaman, termasuk juga kursi panjang yang sedang ditempati Ken.

"Hm... nyaman banget," Ken membaringkan tubuhnya di kursi sofa empuk itu, "tidur, ah." Ken memejamkan mata.

Pikiran Ken melayang entah kemana, menghayal tanpa batas. Membayangkan masa depannya yang penuh dengan kebahagian dan kemewahan. Desiran angin sepoi-sepoi dari fentilasi membuat Ken terhanyut dalam mimpi yang indah tak berkesudahan.

***

Kholid membuka matanya, pandangannya masih seperti sebelum ia masuk portal. Hanya saja, wajah misterius itu sudah lenyap entah kemana.

Ada sesuatu mengganjal yang Kholid rasakan di sekitar kupingnya. Ia baru sadar kalau ternyata yang membuat pandangan matanya serba hitam adalah kaca mata hitam itu.

"Perasaan, tadi aku gak pake kaca mata." Gumam Kholid sambil mengingat-ingat sebelum kejadian aneh itu menghampirinya. Sorot matanya menyapu seluruh ruangan. Tapi ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, hanya saja ia menemukan plastik hitam, di meja kaca yang ada di depannya.

"Ini apaan?" Kholid mengernyitkan dahi sambil membuka plastik hitam itu. Ia melihat dua bungkus susu sapi murni.

"Hmm... pagi-pagi gini udah dapet rejeki nomplok," Kholid kegirangan, "terima kasih, Ya Allah."

"Ups... tunggu dulu,"Kholid curiga, "jangan-jangan..." Kholid menampar pipinya beberapa kali dengan tamparan yang keras.

"Aduh!" Kholid nyengir kesakitan.

"Hehe... bukan mimpi ternyata. Alhamdulillah." Kholid tersenyum kegirangan. Susu itu langsung diminumnya tanpa ia cari tahu siapa pemiliknya.

Gluk Gluk Gluk

"Ah...," Kholid mendesah, "nikmat mana yang engkau dustakan." Satu bungkus susu sapi murni, telah habis diminumnya. Ia merebahkan tubuhnya kembali ke kursi sofa empuk itu.

"Enak juga ya." Kholid keenakan, "Lagi ah...." Langsung mengambil satu bungkus susu sapi sisanya.

Gluk Gluk Gluk

"Ah... eenaakk" Kholid merasa lega.

"Innama Al Usri Yusro. Setelah kesusahan pasti ada --"

"Woi! Maling!" Suara itu mengagetkan Kholid.

***

"Lid, nanti sore ada latihan pencak silat pancasona. Aku rencananya mau ikut, tapi kalo sendirian males, ntar dikira orang ilang, makanya aku ajakin kau." Ken menatap Kholid dengan wajah berharap.

"Yaelah, kalaupun kau bareng aku, juga masih kayak orang ilang. Emang wajah kau itu macam wajah orang ilang." Kholid terkekeh.

"Asem. Keren-keren gini dibilang orang ilang," Ken melancarkan pukulan menggunakan plastik susu yang sudah habis itu, Kholid menghindar, "mau ikut nggak?" Lanjut Ken.

"Ayo berangkat sekarang." Jawab Kholid sekenanya.

"Berangkat sendiri noh, kalo mau ngepel." Ken tertawa.

"Bukan." Sanggah Kholid, "Wifinan dulu hehe...."

"Yaelah, kaya-kaya masih suka gratisan." Ejek Ken.

"Lho... belum tau ternyata. Asal kau tahu, ini adalah salah satu trik agar ...."

"Kaya orang nggak punya." Pangkas Ken sambil tertawa.

"Heh...," Kholid langsung menyaut, "biar kaya itu caranya gini. Nggak ngabis-ngabisin uang cuma buat hal-hal yang nggak terlalu penting."

"Iya-iya percaya deh sama orang kaya. Aku mah apa." Ken merendah.

"Hehe.. harus itu. Orang kaya bisa melakukan apa aja. Hihihi." Kholid tertawa penuh kemenangan, "Ya udah, Ayo berangkat." Pungkasnya.

"Hmm... semangat banget kalo masalah latihan pencak silat." Ken menggerutu.

"Sebagai orang kaya, aku harus bisa menjaga diri agar bisa menjaga harta benda yang kupunya." Ucap Kholid dengan nada sombongnya."Tapi terkadang aku berpikir," Muka Kholid berubah kecut, "kau lebih beruntung daripada aku. Aku harus menjaga dan memikirkan kekayaan yang kupunya agar aman dan tidak salah menggunakan. Setiap hari aku dipusingkan oleh dunia yang selalu membuatku tersiksa. Nggak nyaman banget deh pokoknya. "Kholid terlihat pasrah, "Sedangkan kau, Ken. Kau tidak sepertiku. Kau tidak punya tanggungjawab seperti yang sedang aku tanggung sekarang ini. Kau bisa bergerak bebas sesukamu. Dan aku berpikir. Hidupmu lebih nyaman daripada ...."

"Eits-eits," Ken memotong, Kholid melongo, "kau belum tahu apa yang aku rasakan, Lid." Ken menyanggah tanda tak setuju, "Kau bilang aku nyaman, bisa bergerak bebas? Kau salah." Kholid seamkin melongo. "Bagaimana aku bisa nyaman dan bergerak bebas sedangkan aku hanyalah pengangguran yang tak punya uang? Justru aku iri dengan kehidupanmu, Lid. Kehidupan yang serba kecukupan dengan rumah yang nyaman. Sedangkan aku? Rumahku? Aku tidak punya rumah. Masih ikut orang tua. Ya serba sulit lah." Pungkas Ken.

Lengang sejenak.

Ken memulai berbicara lagi.

"Gimana kalo kita tukeran aja, Lid? Aku yang kaya dan kau yang nggak punya apa-apa?" Ken tertawa

"Enak aja. Enak di loe nggak enak di gue." Kholid protes.

"Yaelah. Tadi bilangnya hidupku lebih nyaman. Giliran ditawarin gantian nggak mau." Ledek Ken.

"Ya...."

"Bilang aja nggak mau." Pangkas ken.

"Hehe.. belum siap jadi orang yang nggak punya apa-apa Ken. Kalo gantian terus frustasi, terus bunuh diri gimana?"

"Aku ikhlas kok. #eh. Wkwkw." Jawab Ken sekenanya.

"Astaghfirullah." Kholid memandang Ken geram.

"Wkwkw... becanda-becanda. Nggak usah dimasukin ke tong sampah. Eh, Ke hati maksudnya." Papar Ken dengan candanya.

"Jadi berangkat sekarang nggak nih?" Kholid mengalihkan pembicaraan.

"Heh.. belum selesai urusan yang tadi."

"Urusan apa?"

"Urusan gantian peran dong" jawab Ken mantap.

"Udah ah gaje banget. Mending sekarang berangkat latihan silat aja." Tegas Kholid.

"Siap mas Bos." Ken berdiri dengan posisi hormat ke arah Kholid.

"Nah... gitu dong. Semakin cepat semakin baik. Coz, Bisa wifinan sepuasnya. Hehe...." Ucap Kholid sambil beranjak dari tempat duduknya dengan wajah penuh dengan keceriaan.

Ken hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengelus-elus dada berlagak layaknya orang tua. Sebenarnya Ken ingin meledek Kholid. Tapi ia mengurungkan niatnya karena tidak ingin terus berdebat dengan Kholid.

Kholid berjalan ke arah kamarnya.


"Aku mau ganti pakaian dulu ya, Ken?"

"Oke siap. Aku juga mau ganti kostum dulu, Lid."

"Lho... udah punya kostumnya, tho?" Tanya Kholid sambil menghentikan langkahnya dan memalingkan wajahnya ke arah Ken.

"Udah dong. Kostum olah raga hehe...." Jawab Ken sambil meringis kuda.

"Yaelah... kirain udah punya. Ya udah, sana pulang dulu." Ucap Kholid sambil berlalu.

"Asem ah. Diusir." Gerutu Ken dengan meninggikan volume suaranya.

Ken beranjak dari tempat duduk dan keluar dari rumah Kholid, kembali menuju ke rumahnya. Sedangkan Kholid sedang disibukkan dengan aktivitasnya, yaitu memilih pakaian untuk latihan nanti.

Chapter 4 - 

Tamu yang Tak Diundang

tamu yang tak diundang


"Tok..Tok..Tok.."

Terdengar suara pintu diketok. Kholid masih tertidur pulas.

"Tok..Tok..Tok.." Suara ketokan itu muncul lagi lebih keras. Kholid mulai mendengar samar-samar karena dia benar-benar kecapekan setelah beraktivitas seharian di sekolah.
 
"Tok..Tok..Tok.." Suara itu terdengar semakin keras. Kholid mulai mendengar lebih jelas.

"Suara apa itu tadi" dalam hatinya bertanya-tanya. Kholid mulai mempertajam pendengarannya.

"Tok..Tok..Tok.." Suara itu kembali didengar Kholid dan semakin jelas karena dia sudah sepenuhnya sadar. Dia menduga itu suara ketokan dari pintu depan.

Kholid mengambil ponsel yang ada di sampingnya dan matanya langsung tertuju pada jam digital yang ada di ponselnya.

"Jam 00.00 WIB, siapakah yang ketok-ketok pintu di tengah malam seperti ini?" Ia bergumam dalam hati.

Kholid bergegas bangun, tapi tak langsung menuju asal suara itu yaitu pintu depan rumahnya. Ia masih menduga-duga sosok di balik pintu itu. Dengan langkah hati-hati dia mulai mendekati pintu.

Suara ketokan itu masih terus berbunyi untuk kesekian kalinya. Semakin Kholid dekat dengan pintu, semakin jelas pula suara ketokan itu. Suara auman srigala mulai bersautan dari balik hutan belantara jauh nun sana membuat Kholid bergidik merinding. Tak hanya Kholid saja yang ketakutan, semua orang yang mendengarnya pun pasti akan ketakutan. Belum lagi suara-suara binatang buas lainnya juga suara-suara serangga dari semak-semak belukar belakang rumah yang tak mau kalah.

Sambil menatap ke pintu Kholid memberanikan diri untuk membuka pintu rumahnya yang mulai kropos itu.

"Krengkeeet.." Terdengar suara pintu yang dibuka Kholid secara perlahan. Pintu itu sudah berumur puluhan tahun seperti sudah tak layak untuk dipakai. Tapi karena Kholid belum punya dana yang cukup untuk menggantinya, akhirnya dia membiarkan pintu tua itu tetap terpasang.

"Lho... kok nggak ada orang?" Gumamnya dalam hati. Kholid seperti orang kesasar yang kebingungan. Ia menengok ke kiri dan ke kanan mencari sosok yang mengetok pintu rumahnya.

Dan setelah tak menemukan yang ia cari, ia menyimpulkan dan menganggap itu cuma ulah abg-abg yang usil.

Ketika berbalik arah,  ia merasakan kelebatan bayangan di belakangnya. Tubuhnya semakin bergidik merinding ketakutan. Dengan perlahan-lahan ia membalikkan badannya dan teringat oleh kata-kata guru sekolahnya. Guru sekolahnya -- pengampu pelajaran ekonomi -- pernah mengatakan, jika merasa merinding berarti ada jin yang sangat dengan kita. Kholid semakin merinding ketakutan karena ia merasakan hal yang dikatakan oleh gurunya itu. 

Tetapi karena Kholid masih penasaran, ia mencoba terus memutar badannya ke belakang dengan pelan-pelan. Semakin dirasakan, semakin tinggi rasa penasarannya. Akhirnya Ia memberanikan diri memutar badannya ke belakang dengan gerakan cepat.

"Astaghfirullahal 'Adziim.." Kholid terperanjat kaget dan pingsan.

SEMI INDIGO

Semi Indigo

Cerita ini berkisah tentang perjalanan seorang remaja yang menelusuri dunia lain. Dia adalah Kholid, remaja yang mempunyai hobi aneh yaitu, mencari sesuatu yang berbau mistis. Misalnya mencari harta karun ghoib yang dia yakini ada, padahal dia belum pernah melihatnya.

Dia juga suka mencari benda-benda keramat sejenis keris, cincin batu akik dan semacamnya, namun dia tak pernah menemukannya. Sebenarnya kalau disebutkan satu persatu mungkin ada lebih dari 100 jenis benda keramat yang dicarinya. 

*** 

Dalam perjalanan mencari benda keramat, kholid mendapatkan cahaya terang yang menyinari hatinya dan bertobat menuju jalan yang benar sesuai dengan Syariat Agama Islam. Hal itu terjadi karena lantaran teman Kholid yang mengajak kholid ke seorang guru spiritual yang menunjukkan jalan kebenaran. 

Dari situlah petualang kholid dimulai. Banyak hal-hal di luar nalar yang disaksikan kholid setelah Kholid berguru dengan Guru spiritual tersebut. Dan Kholid diberi misi untuk melawan para pengikut Dajjal, dan meluruskan akidah manusia. 

Dapatkah Kholid menyelesaikan misi itu? 

Baca selengkapnya di cerita ini.
Perguruan Silat Rawa Rontek

Latihan Tenaga Dalam

Latihan Mata Batin

Serangan Mendadak di Sekolah

Bertarung dengan Jin Penguasa wilayah

Diganggu penghuni rumah

Jalan-Jalan berkeliling dunia

Bertarung dengan Dukun Sakti Mandraguna

Teror Dunia Lain

Ilmu Kanuragan Level Tertinggi

Ilmu Pemikat Hati

Ilmu Langkah Seribu

Berjuang Tanpa Batas

Pengobatan Jarak Jauh

Petaka Sesajen


AdSense